OPINI, KanalNews.id – Kasus dugaan korupsi yang menyeret nama Mohammad Fajar Satria, pemilik usaha jasa transfer Bang Alief di Kabupaten Sumenep, masih menyisakan tanda tanya besar. Angka kerugian Bank Jatim yang disebut mencapai Rp23 miliar belum pernah disertai bukti forensik keuangan yang terbuka ke publik. Namun, diduga tanpa audit independen, penyidik sudah menetapkan Fajar sebagai tersangka.
Dari sudut pandang hukum, penetapan tersangka tanpa pemeriksaan menyeluruh terhadap pihak internal bank menunjukkan potensi pelanggaran asas due process of law. Dalam kasus ini, nama pegawai Bank Jatim, Maya Puspitasari, justru berstatus DPO meski disebut sebagai pihak yang menyerahkan mesin EDC kepada Fajar pada awal kerja sama tahun 2019.
Pertanyaannya, mengapa seseorang yang berada di lingkar dalam Bank Jatim bisa “menghilang” begitu lama tanpa langkah tegas dari penegak hukum, sementara mitra di luar bank justru dijerat cepat?
Kejanggalan Proses Hukum
Langkah penyidik Polres Sumenep dalam mengamankan seluruh aset Fajar—termasuk uang tunai, logam mulia, dan kendaraan pribadi—tampak terburu-buru. Fajar mengaku total uang yang disita sekitar Rp800–900 juta, namun dalam konferensi pers disebut hanya Rp657 juta. Selisih ini bukan angka kecil.
Jika benar ada perbedaan nilai sitaan, maka publik berhak tahu ke mana sisa uang tersebut. Lebih ironis lagi, usaha Bang Alief yang telah beroperasi lebih dari satu dekade kini lumpuh total karena pemblokiran rekening dan penyitaan aset.
Padahal, menurut kuasa hukum Fajar, kerja sama Bang Alief dengan Bank Jatim tidak pernah menimbulkan kerugian selama tiga tahun pertama. Bank justru mencatat keuntungan dari transaksi layanan pembayaran mikro yang dijalankan Fajar. Barulah pada 2022, tiba-tiba muncul laporan “kerugian Rp23 miliar” tanpa penjelasan rinci.
Kejanggalan lain: rekening Fajar yang awalnya berisi Rp433 juta mendadak berubah menjadi saldo minus Rp18,8 miliar. Perubahan ekstrem semacam ini tak mungkin terjadi tanpa intervensi sistem internal bank. Ini mengarah pada dugaan kuat bahwa masalah sebenarnya berasal dari tata kelola internal Bank Jatim Cabang Sumenep.
Bank Bermasalah, Mitra Jadi Kambing Hitam
Kasus ini memperlihatkan pola lama: ketika lembaga besar terguncang oleh kebocoran internal, pihak kecil yang bersentuhan dengannya sering dijadikan tumbal.
Bang Alief hanyalah mitra, bukan karyawan Bank Jatim. Ia tidak memiliki kewenangan mengakses sistem perbankan internal, apalagi memanipulasi saldo nasabah.
Maka, jika benar ada praktik fraud, sulit diterima logika bahwa pelaku utamanya justru pihak eksternal. Sistem EDC milik bank memiliki lapisan verifikasi berlapis—akses transaksi, pelaporan, dan audit semua dikontrol oleh pihak bank.
Dalam konteks ini, penyidik mestinya memeriksa rantai pengawasan di internal Bank Jatim, bukan langsung menuding mitra kerja yang tak punya otoritas teknis.
Ketiadaan Transparansi, Bibit Ketidakadilan
Sampai kini, publik belum pernah melihat laporan audit resmi terkait kerugian Bank Jatim. Tidak ada hasil audit BPKP atau OJK yang diungkap terbuka. Padahal, penyidikan berbasis transparansi adalah kunci agar hukum tak dipakai sebagai alat kekuasaan atau perlindungan kelompok tertentu.
Kasus ini menunjukkan ketimpangan struktural antara lembaga besar yang memiliki akses ke kekuasaan dan mitra kecil yang mudah dijerat pasal. Dalam situasi seperti ini, hukum kehilangan rohnya: menegakkan keadilan.
Jika benar ada penyimpangan, semestinya Polres Sumenep dan Kejaksaan Negeri Sumenep membuka seluruh bukti transaksi, rekaman audit, dan peran masing-masing pihak—termasuk manajemen Bank Jatim yang mengawasi cabang Sumenep.
Perlu Audit Independen dan Pengawasan Eksternal
Kasus ini tak bisa berhenti pada penetapan tersangka tunggal. Diperlukan audit investigatif independen untuk menelusuri:
-
Alur uang Rp23 miliar yang disebut sebagai kerugian.
-
Sistem dan kontrol internal Bank Jatim terhadap mesin EDC.
-
Keabsahan saldo minus Rp18,8 miliar di rekening Fajar.
-
Dasar hukum penyitaan aset lain yang tak tercantum dalam surat pengadilan.
Tanpa langkah ini, publik akan terus menilai bahwa aparat dan lembaga keuangan hanya saling melindungi, sementara mitra kecil menjadi korban kriminalisasi.
Menutup Tabir
Misteri Rp23 miliar Bank Jatim Sumenep bukan sekadar soal angka. Ini soal transparansi, integritas, dan keberpihakan hukum terhadap kebenaran. Jika penegakan hukum hanya menyasar pihak yang lemah, maka yang dipertaruhkan bukan sekadar reputasi Bank Jatim, melainkan juga kepercayaan publik terhadap keadilan itu sendiri. (*)





















