Sumenep, kanalnews.id – Andai saja menyebut nama, mungkin jurnalis yang menjadi “inisiator” catatan ini akan tersinggung. Pertama, karena catatan ini ilegal. Tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Kedua, isi catatan ini adalah fakta yang ada di destinasi wisata Sumenep–yang oleh pemerintah–terkesan selalu diabaikan dan hingga hari ini belum menunjukkan keseriusan.
Dengan bersungguh-sungguh, seorang kawan jurnalis yang selalu antusias ini menyampaikan serangkaian keluhan disertai raut wajah yang penuh kekecewaan. Wisata pulau Gili Iyang, yang promosinya membuat mabuk kepayang, menurutnya seperti khayalan yang sumbang.
Framing berita yang disajikan telah menciptakan imajinasi yang menghebohkan. Serangkaian narasi yang diciptakan, memperkuat imajinasi indah nan membahagiakan.
Akan tapi, sarana wisata yang dia temui ternyata tidak memadai. Fakta itu telah menciderai imajinasi. Wisata unggulan yang diframing dengan luar biasa ini terbukti hanya tersedia sarana dan akses jalan yang penuh elegi.
Di wisata titik nol oksigen, sarana yang ada jauh dari kata baik. Tampak kusut dan sendu. Sedangkan akses jalan wisata batu canggah, layaknya menuju desa yang jauh dari peradaban. Masih berbatu dan tidak menyenangkan.
Mendengar keluhan itu, seperti biasa, saya hanya menahan diri, sebisanya. Yang terlintas dalam pikiran hanyalah keinginan untuk menulisnya. Tidak lebih. Sebab, keluhan tentang sarana dan prasarana, baik menuju dan atau di destinasi wisata, khususnya di Sumenep, nyaris selalu sama.
Agar tidak kecewa, di tengah kawan jurnalis ini bercerita, saya pun menyela: siapapun yang pernah ke pulau Gili Iyang, mungkin merasakan keluhan yang sama. Sarana dan prasarananya belum memadai. Seperti ada imajinasi tentang wisata yang dikebiri. Padahal sudah bertahun-tahun gencar promosi.
Selesai bercerita, kawan jurnalis ini memilih pergi. Mungkin saja, kepada kawan lainnya, ia akan menceritakan rusaknya imajinasi tentang wisata Sumenep yang hingga saat ini terus digembar-gemborkan dengan segala cara. Bahkan lintas kota.
Sambil menatap kawan yang pergi, pertanyaan-pertanyaan sederhana menghampiri. Misalnya, berapa persen wisatawan yang kembali ke pulau Gili Iyang? Jika mereka tidak kembali, apakah karena sudah merasa cukup, atau karena ada keluhan yang enggan disampaikan?
Jika saja keluhan dari seorang jurnalis juga dirasakan oleh para wisatawan, apa jawaban yang pas untuk disampaikan sebagai pembelaan? Tentu saja tidak perlu saling menyalahkan. Sadari saja bahwa fakta yang ada adalah beban.
Akan tapi, kiranya sampai kapan wisata di Sumenep benar-benar nyaman, dan tidak hanya terlihat indah dalam setiap bilboard yang penuh pencitraan? Hemat saya, tidak perlu banyak bermetafora. Sebab wisata tidak akan baik dan berkesan, sekali lagi, dengan pencitraan belaka. Wisata musti selaras dengan fakta.
Terakhir. Catatan ini tidak saya niatkan sebagai kritik. Hanya saja, bagi setiap orang yang pernah berwisata ke pulau Gili Iyang, apakah semuanya memberi kesan baik? Saran saya, cukup jawab dalam hati. Jangan sampai kesan (buruk?) itu diceritakan pada kawan lainnya lagi. Sebab, jika sedang apes, keluhan itu akan jadi inspirasi layaknya catatan sederhana ini.
Nurkholis: Wartawan Kompas
Gapura, 3 Mei 2023